Wednesday 17 April 2013

Kartini Bukan Pahlawan

Raden Ajeng Kartini, yang secara resmi tercatat sebagai pahlawan nasional nomor 23, bukanlah pahlawan nasional perempuan yang pertama. Posisi Kartini dalam daftar urut pahlawan nasional berada di bawah Cut Nyak Dien dan Cut Meuthia, dua pejuang Aceh yang angkat senjata melawan pendudukan Belanda. 

(Pahlawan nasional nomor 1 ditempati Abdoel Moeis, seorang lelaki-pengarang [alias bukan pejuang di medan perang] dari Sumatera.)

Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meuthia, dan Kartini, bersama-sama ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden [Keppres] No. 106/1964 yang ditandatangani Presiden Sukarno.

Sebelumnya, sudah ada 20 pahlawan nasional yang semuanya laki-laki. Komposisinya: 11 orang Jawa, 2 orang Sunda, 1 Betawi, 2 Batak, 1 Minahasa, 3 Melayu, 1 orang Indo (Douwes Dekker). Mayoritas di antaranya muslim, sisanya penganut Katolik dan
Kristen, dan 1 ateis (Tan Malaka). 

***

Saya sengaja membuka tulisan ini dengan paragraf yang berisi tetek-bengek nomor urut dan atribusi itu (perempuan, pengarang, pejuang yang angkat senjata, Sumatera, non-Jawa). Alasannya sederhana: wacana kepahlawan nasional di Indonesia memang sering kali diimbuhi oleh tetek-bengek atribusi macam itu. 

Dan Kartini tepat sebagai contoh pokok persoalan satu ini.

Seperti yang sudah saya sebutkan, ketika belum ada Kartini, Cut Nyak Dien dan Cut Meuthia, daftar pahlawan nasional Indonesia hanya diisi nama laki-laki. Dan itulah sebabnya saat itu Sukarno dikritik sekaligus didesak untuk sesegera mungkin mengangkat perempuan sebagai pahlawan nasional. 

Salah satu pihak yang mendesak penetapan Kartini sebagai pahlawan nasional adalah Gerwani, organ perempuan di lingkungan PKI. Tiga tahun sebelum Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional, Gerwani bahkan sudah menerbitkan sebuah majalah perempuan yang dinamai "Api Kartini".

Pertanyaannya: kenapa harus ada perempuan dalam daftar pahlawan nasional? Sebagaimana kenapa harus ada Batak dalam daftar tersebut? Memangnya kenapa kalau tidak ada perempuan atau Batak dalam daftar?

(Ya, Batak juga perlu disebut. Orang Batak pertama yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional adalah Sisingamangaraja XII dengan nomor urut 8. Dia ditetapkan setelah Sukarno mendengar aspirasi yang mempertanyakan kenapa tidak ada orang Batak yang jadi pahlawan nasional.)

Itu semua terjadi pada masa Soekarno. Kini, proses serupa nyaris menjadi baku karena memang prosedur penetapan pahlawan nasional memang seperti itu. Seseorang bisa ditetapkan sebagai pahlawan nasional setelah melewati berbagai tahap, salah satunya usulan dari masyarakat. Hampir semua usulan itu akhirnya datang dari mereka yang merasa diwakili oleh sang-calon pahlawan (baik diwakili secara kesukuan, kedaerahan maupun tentu saja kekeluargaan).

Di sinilah letak ironinya: penetapan seorang pahlawan nasional, yang mestinya berporoskan nilai nasionalisme, justru prosesnya sering dimulai oleh perayaan regionalisme, provinsialisme, etnisitas, atau bahkan — dalam kasus Kartini, Cut Nyak Dien dan Cut Meuthia — soal jenis kelamin.

Kartini lagi-lagi menjadi persimpangan yang menarik. Dia ditetapkan sebagai pahlawan nasional setelah ada gugatan segmentatif (“Kenapa tidak ada pahlawan nasional perempuan?”). Tetapi setelah menjadi pahlawan nasional, dia dipersoalkan dengan argumentasi yang tidak kalah segmentatif alias membawa-bawa regionalisme. Kartini orang Jawa, dan kepahlawanannya dipandang sebagai sebentuk jawanisasi.

Persoalan makin "rumit" karena tidak ada pahlawan nasional lain yang hari kelahirannya ditetapkan oleh negara sebagai hari khusus. Tidak ada Hari Cut Nyak Dien atau Hari Christina Tiahahu. Bahkan tidak ada Hari Sukarno, Hari Hatta apalagi Hari Tan Malaka yang ateis dan komunis. 

Apa boleh bikin, Kartini memang sudah telanjur menjadi "kanvas" yang di berbagai zaman dan oleh berbagai kalangan pernah dan akan terus dicoreti pelbagai tafsir, kepentingan, sampai gugatan. Pendeknya, Kartini adalah objek. 

Dan sebagai objek, Kartini diposisikan dan dipahami secara berbeda, mulai kalangan etisi (penganut politik etis) di masa kolonial, orang-orang kiri di masa Demokrasi Terpimpin, para teknokrat-birokrat Orde Baru, sampai para pengkritik yang mengalasdasari kritik mereka dengan visi desentralisasi seperti yang terlihat pada masa pasca-reformasi sekarang ini.

Dan Kartini tak bisa melawan coretan-coretan yang dibubuhkan pada riwayat hidupnya itu. Itulah sebabnya, dalam statusnya sebagai pahlawan, Kartini sebenarnya mengalami "penderitaan". Kartini, sebagaimana para pahlawan nasional lainnya, mengalami "penderitaan" dibingkai, dibakukan sekaligus dibukukan. 

Pendeknya, Kartini "dikanonisasi". 

Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial (Depsos) No.281/PS/X/2006, ada beberapa kriteria seseorang untuk bisa ditahbiskan sebagai pahlawan nasional. Di antaranya: perjuangannya konsisten, mempunyai semangat nasionalisme dan cinta tanah air yang tinggi, berskala nasional serta sepanjang hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan sang tokoh sudah meninggal. 

Sepanjang proses itulah para kandidat pahlawan nasional diperiksa, diteliti, diselidiki: pendeknya dipilih, dipilah, diselidiki "secara klinis" untuk memastikan tidak ada virus, bakteri, cela dan dosa yang terlalu signifikan untuk diabaikan.

Tapi itu saja tak cukup. Begitu seseorang ditetapkan sebagai pahlawan, ada penambahan elemen-elemen yang dianggap bisa memperkokoh kekuatan naratifnya. Penambahan elemen itu bisa berupa pemilahan dan penyempurnaan foto atau lukisan si tokoh, mereproduksi serta menyebarkannya melalui banyak medium (terutama buku pelajaran atau biografi ringkas yang disebarkan ke sekolah), hingga ritual-ritual yang diulang pada momen penting dalam kehidupan si tokoh yang relevan untuk ditonjol-unggulkan.

Jika kita cermati gambar wajah para pahlawan nasional, terutama para pahlawan dari era sebelum dikenalnya fotografi, paras mereka rata-rata tampak meyakinkan, seakan tak mengandung keraguan. Wajah mereka memancarkan pamor keagungan. Gambaran auratik adalah bagian dari kanonisasi kepahlawanan nasional yang direproduksi terus-menerus itu.

Silakan ketik "RA Kartini" di mesin pencari. Anda akan disuguhkan ribuan foto Kartini yang berdaya auratik itu. Itulah Kartini yang yang telah dikanonisasi, Kartini semata-mata sebagai objek. Padahal, jika membaca surat-surat Kartini dengan lebih peka, dengan mudah Anda akan menemukan banyak keraguan, kebimbangan, kekalahan dan penderitaan. Dan Kartini memang wafat dalam situasi tragis seperti itu.

Pertanyaannya: masih bisakah memandang Kartini sebagai subjek? 

Saya kira itu masih dimungkinkan jika bisa melepaskan selubung kepahlawanan yang melekat pada dirinya. Selama dibicarakan dalam selubung kepahlawanannya, selama itu pula Kartini akan terus menjadi objek, bahkan kendati posisi Anda sedang mengkritiknya sekalipun. Karena, baik membela maupun menggugat kepahlawanan Kartini sebenarnya berangkat dari posisi yang serupa: memperlakukan Kartini sebagai objek. 

Maka tak ada salahnya saya bilang: Kartini bukanlah pahlawan, dia manusia biasa saja. Mudah-mudahan ini adalah sikap paling adil yang bisa saya berikan padanya.




copas dari @zenrs

0 komentar:

Post a Comment